KUANTAN SINGINGI – Upaya DPRD Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) dalam mengusut dugaan perambahan lahan di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Kecamatan Hulu Kuantan kembali menghadapi hambatan.
Dalam rapat dengar pendapat (hearing) yang digelar Senin (3/2/2025), sejumlah pihak yang diduga terlibat justru mangkir, termasuk Koperasi Guna Karya dan beberapa instansi terkait. Sikap ini menimbulkan kecurigaan kuat bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan.
Ketua Komisi II DPRD Kuansing, Fedrios Gusni, mengungkapkan bahwa lahan di empat desa—Sumpu, Tanjung Medang, Sarosa, dan Pangkalan Indarung—telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar tanpa kejelasan kepemilikan. Namun, pihak-pihak yang diduga mengelola lahan tersebut terus menghindar dari panggilan DPRD.
“Ribuan hektare lahan sudah jadi kebun sawit, tapi pemiliknya tidak jelas. Kalau memang tak bertuan, ya kita babat saja,” tegas Fedrios Gusni dalam pernyataan yang mengindikasikan kejengkelan atas lemahnya penegakan hukum di daerah tersebut.
Hearing yang seharusnya menjadi momentum untuk mengklarifikasi dugaan perambahan ilegal ini justru diwarnai ketidakhadiran pihak-pihak yang paling bertanggung jawab.
Dari berbagai instansi yang diundang, hanya Dinas Koperasi, Perdagangan, dan Perindustrian (Diskopdagrin) yang hadir. Sementara itu, PT Merauke, Koperasi Guna Karya, kepala desa dari empat wilayah terdampak, serta Dinas Perkebunan dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) memilih untuk mengabaikan panggilan DPRD.
Sikap ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah mereka takut menghadapi fakta atau memang ada permainan di balik perambahan ini?
Tidak bisa dipungkiri bahwa ketidakhadiran pihak-pihak yang diundang dalam hearing DPRD memperkuat dugaan adanya permainan kotor dalam alih fungsi kawasan hutan ini.
Alan, Ketua Yayasan Jaga Riau, mengecam keras absennya pihak-pihak tersebut dan menilai ini sebagai bentuk penghinaan terhadap lembaga legislatif sekaligus indikasi upaya menghindari pertanggungjawaban hukum.
“Ketidakhadiran mereka bukan sekadar bentuk ketidakhormatan terhadap DPRD, tapi juga mengindikasikan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Jika mereka tidak merasa bersalah, mengapa tidak datang dan memberikan klarifikasi?” ujar Alan dengan nada penuh kecurigaan.
Lebih jauh, ia mendesak DPRD untuk bertindak lebih tegas dan tidak sekadar menjadi “macan kertas” yang tak punya keberanian dalam menegakkan hukum.
“DPRD harus tegas. Jika mereka terus mangkir, ada langkah hukum yang bisa diambil. Jangan sampai DPRD hanya menjadi simbol tanpa kekuatan dalam menindak pelanggaran yang merugikan lingkungan dan masyarakat,” tambahnya.
Dalam pernyataan lebih lanjut, anggota Komisi II DPRD Kuansing dari Partai PDIP, Syafriadi, menegaskan bahwa perkebunan sawit di kawasan tersebut ilegal. Ia meminta seluruh pabrik kelapa sawit (PKS) di Kuansing untuk tidak menerima tandan buah segar (TBS) dari lahan hasil perambahan HPT.
“Kami meminta seluruh PKS di Kuansing untuk tidak menerima TBS dari kawasan tersebut. Jika masih ada yang menerima, berarti mereka ikut terlibat dalam kejahatan lingkungan ini,” tegasnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi bagaimana rantai pasok industri kelapa sawit kerap menjadi celah bagi hasil perambahan hutan untuk masuk ke pasar legal. Jika tidak ada pengawasan ketat, maka praktik ini akan terus terjadi tanpa ada sanksi nyata.
Kasus dugaan perambahan HPT di Hulu Kuantan bukanlah yang pertama terjadi, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Namun, jika terus dibiarkan tanpa tindakan konkret, maka ini hanya akan mempertegas bahwa penegakan hukum di Kuansing lemah dan bisa diperjualbelikan.
Masyarakat kini menunggu apakah DPRD Kuansing benar-benar akan bertindak atau hanya sekadar membangun wacana tanpa hasil. Jika hearing berikutnya kembali diabaikan oleh pihak-pihak yang diduga terlibat, maka DPRD harus berani menggunakan kewenangannya untuk memanggil paksa serta menuntut pertanggungjawaban hukum.